MENCARI
FORMAT IDEAL PESANTREN
Oleh
Mun’imul Huda [1])
Pondok
Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan
Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan
catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara
telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal
dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M.
Federspiel- salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia,
menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang (Sumatera), di
Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan
penting dan telah menarik santri untuk belajar.[2])
Pesantren
pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai (tafaquh fi Al-diin) dan
penyiaran agama Islam (dakwah).
Namun, dalam perkembangannya melintasi sejarah yang panjang, lembaga ini
semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak hanya mengakselerasikan mobilitas
vertical (dengan pendalaman materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas
horizontal (kesadaran sosial). Tegasnya, pesantren kini tidak lagi berkutat
pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan
cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikinian
masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak
bisa lagi dianggap semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga
(seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons persoalan
masyarakat di sekitarnya yang terus mengalami dinamika.[3])
Pondok
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya
Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri
ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama
berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama
berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat
besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. [4])
Umumnya,
suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai
di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya.
Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif
untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu
kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, maupun memikirkan
manajemennya, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya
dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan
perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya
sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil
yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak jumlah
santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri yang telah
cukup belajar di pesantren kemidan mukim di daerahnya dan selanjutnya
memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal
kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo bahkan sampai sekarang.[5])
Jenis
pesantren
Pesantren yang
hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi. Pola
tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja
untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah,
mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya
mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian besar pesantren
salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan
membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri,
pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan
kegiatan, dimulai dari shalat shubuh
di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang,
para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore
mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka untuk memperdalam
pelajaran agama dan al-Qur'an.
Ada pula
pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, dimana persentase ajarannya lebih
banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika,
dan lainnya). Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern,
dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan,
kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi ajar campuran
antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti
di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah, kadang-kadang juga dikenal dengan nama SMP,
sedangkan untuk tingkat Madrasah Aliyah,
kadang-kadang juga dikenal dengan nama SMA.
Namun, perbedaan
pesantren dan madrasah
terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama,
sementara dalam madrasah tidak.
Format
pesantren dan santri ideal
Hal yang kemudian
perlu kita diskusikan adalah bagaimana mencari format pendidikan pesantren yang
dapat menjawab tantangan kekinian. Tentu jawaban bisa subjektif, bisa objektif tergantung
dari mana kita menilai, tetapi dalam hal ini kita dapat mengajukan beberapa
pendapat.
Pertama,
pesantren dengan segala perangkat yang dimilikinya harus selalu mengarahkan santri
kepada akselerasi mobilitas vertikal, pendalaman materi-materi keislaman. Hal
ini sangat penting mengingat semangat tafaqquh fi al-diin adalah ruh dan
jantung pesantren itu sendiri. Materi-materi seperti tauhid, fiqih, tajwid,
nahwu shorof, tarikh dan seterusnya tidak boleh diabaikan bahkan dikurangi.
Mengingat budaya keilmuan di pesantren sangat holistik (menyeluruh) yang
bersumber dari kitab-kitab kuning tentunya.
Kedua,
pesantren juga harus selalu diarahkan kepada
akselerasi mobilitas horizontal, berusaha mencetak santri yang mampu merespon
persoalan-persoalan sosial-kemasyarakat yang terus mengalami dinamika yang
cukup mengkawatirkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membekali santri berlatih
berbicara di hadapan audien dengan latihan khitabah, mengajukan dan menanggapi
pendapat orang lain dengan berlatih diskusi, takror, bahsul masail. Berlatih
berorganisasi juga sangat penting untuk melatih jiwa leadership (kepemimpinan).
Termasuk berlatih mengembangkan bakat seni yang islami seperti qira’ah, seni
hadroh, seni kaligrafi dan berbagai yang lain.
Ketiga,
pesantren semestinya mampu membentuk santri yang mempunyai karakter toleran
(tasamuh), adil (ta’dil) dan berimbang (tawazun) sehingga ia mampu bersikap luwes,
tidak kaku, tetapi tetap menjaga moralitas dan ajaran agama. Kita patut
prihatin dengan berkembangan beberapa tahun terakhir ini dengan munculnya aliran-aliran
radikal, baik radikal kanan yang menyatakan kelompoknya paling murni paling
islami bahkan paling benar atau radikal kiri yang sangat terpengaruh dengan
poal pikir dunia Barat, yang dikenal dengan istilah liberalisme, bahkan
aliran-aliran sesat juga bermunculan di berbagai daerah. Dalam hal ini
pesantren dan santri harus berbuat untuk memberi pencerahan dan membentengi
umat dari pengaruh negatif yang muncul dari berbagai aliran tersebut. Bahkan mungkin
pesantren menjadi benteng terakhir dari carut marut pemikiran yang terus bermunculan,
yang banyak diadopsi dari luar dan sering tidak relevan dengan kondisi umat.
Keempat,
pesantren seyogyanya membekali santri dengan skill yang sesuai dengan minat dan
bakat santri artinya santri harus siap kerja. Dalam hal ini kita tahu bahwa
santri mayoritas pernah melukan riyadhah atau hidup prihatin baik karena
mengamlkan ijazah sang guru maupun terpaksa karena keadaan, shingga deng
sendirinya membentuk santri sangat mampu untuk beradaptasi dengan berbagai
situasi dan kondisi. Bagi santri, jadi apa pun bisa karena tidak ada
pekerjaan yang rendah kecuali yang nyata melanggar atau menyimpang ajaran
agama. Ia bisa menjadi ulama, guru, pengusaha, politikus, pejabat (PNS) bahkan
petani pun tidak ada rasa minder. Menurut pengamatan saya, banyak santri yang
telah mukim mereka bisa berganti peran dengan sangat luwes, malam mengajar
agama (ngaji), pada waktu siang mereka ada yang necis ke kantor, beragkat ke
pasar atau tekun menggarap sawah dan ladangya. Satu yang tidak hilang dari
mereka jiwa santri yang terus melekat dan termanifestasi dalam pergaulan
sehari-hari.
Singkatnya
kita mengharap pada Alloh swt menjadi hamba yang shalih – Al-Qaim bi mashalihi
ummatih-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar